Siap
Berkompetisi Tingkatkan Kualitas Layanan Jasa Kelistrikan
Sejarah
kelistrikan wilayah Sumatera bagian Utara cukup panjang. Apabila melihat dari awalnya listrik
mulai ada di Indonesia tahun 1893 di daerah Batavia (Jakarta). Dengan semakin
berkembangnya teknologi, 30 tahun kemudian di tahun 1923 listrik mulai masuk ke
wilayah Medan. Berkembang hingga saat ini di bawah naungan PT.PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Utara
GM PT. PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara |
Selayang
Pandang
Berdasarkan sejarahnya menurut GM PT.PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Utara,
Chris Leo Manggala, untuk sentral operasional PT.PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Utara dibangun di tanah
pertapakan Kantor PLN Cabang Medan yang sekarang berada di Jl. Listrik No. 12
Medan. Bangunan ini didirikan oleh NV NIGEM / OGEM yang merupakan perusahaan
swasta saat itu yang berada dibawah Pemerintahan Belanda. Kemudian menyusul
pembangunan kelistrikan di Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan pada tahun 1924, selanjutnya
untuk Wilayah Tebing Tinggi pada tahun 1927. Wilayah Sibolga (NV ANIWM)
Brastagi dan Tarutung mendapat giliran pada tahun 1929, mengikuti Tanjung Balai
pada tahun 1931 milik Gemeente-Kotapraja. Pembangunan ini tak henti sampai
disana, pada tahun 1936 di Labuhan Bilik bangunan kelistrikan didirikan pada
tahun 1936 dan pada tahun 1937 Tanjung Tiram menyusul. Pada masa penjajahan Jepang pengelolaan Perusahaan Listrik Swasta
Belanda (PLSB) diambil alih oleh Jepang, tanpa mengadakan penambahan mesin dan
perluasan jaringan. Daerah kerja dibagi menjadi Perusahaan Listrik Sumatera
Utara, Perusahaan Listrik Jawa dan seterusnya sesuai struktur organisasi
pemerintahan tentara Jepang saat itu.
Pada saat presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, diikuti dengan berkumandangnya Kesatuan Aksi Karyawan Perusahaan Listrik di seluruh penjuru tanah air untuk mengambil alih perusahaan listrik milik perusahaan swasta Belanda dari tangan Jepang. Perusahaan Listrik yang sudah diambil alih oleh para pemuda pada saat itu diserahkan kepada Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum. Untuk mengenang peristiwa ambil alih tersebut, maka dengan Penetapan Pemerintah No.1 SD/45 ditetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Listrik. Sejarah memang membuktikan kemudian bahwa dalam suasana yang makin memburuk dalam hubungan Indonesia – Belanda, tanggal 3 Oktober 1953 keluar Surat Keputusan Presiden No. 163 yang memuat ketentuan Nasionalisasi Perusahaan Listrik milik swasta Belanda sebagai bagian dari perwujudan pasal 33 ayat(2) UUD 1945.
Pembangkit, PT. PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara |
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 23 / 1994 tanggal 16 Juni 1994 maka PLN statusnya ditetapkan sebagai perusahaan persero. Adapun yang melatarbelakangi perubahan status tersebut adalah untuk mengantisipasi kebutuhan listrik yang terus meningkat. Dimana pada abad 21, PLN harus mampu dalam menghadapi tantangan yang ada. PLN harus mampu menggunakan tolak ukur Internasional, dan harus mampu berswadaya tinggi, dengan manajemen yang berani transparan, terbuka, desentralisasi, profit center dan cost center. Untuk mencapai tujuan PLN meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong perkembangan industri pada PJPT II yang tanggung jawabnya cukup besar dan berat, kerjasama dan hubungan yang harmonis dengan instansi dan lembaga yang terkait perlu dibina dan ditingkatkan terus.
Atasi Masalah Yang
Perlu Pemecahan
Pembangkit, PT. PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara |
Untuk pembangkit yang sedang ditunggu
dan diharapkan secepatnya dapat dioperasikan oleh PSBU, yakni pembangkit Pangkalan
Susu yang kapasitasnya sekitar 2x200 sedangkan untuk pembangkit Nagan Raya sekitar
2x110, apabila sudah beroperasi sudah dapat menghemat anggaran operasional PLN
karena sudah tidak menggunakan bahan bakar minyak. Untuk pembangkit listrik Nagan Raya
diperkirakan pada bulan Januari 2013 pembangunanya sudah selesai, sedangkan
untuk pembangkit di Pangkalan Susu baru sekitar bulan Desember 2013 selesai.
“Saat ini pembangunan sedang dalam taraf akhir penyelesaian untuk Nagan Raya,
namun untuk Pangkalan Susu agak lama mengingat kapasitasnya yang lebih besar.
Kalau pembangkit ini sudah beroperasi, untuk pembangkit sudah tidak lagi kami
operasikan otomatis biaya produksi kami bisa turun banyak,” tutur Chris Leo. Keuntungannya PSBU untuk wilayah Sumatera
ini sudah menjadi satu kesatuan, jadi sudah dapat saling transfer energi ke
wilayah-wilayah lain. “Kami juga diinformasikan untuk asahan II kerjasama
dengan Pemerintah Jepang akan segera selesai dan mungkin tahun depan akan
selesai dan mungkin saja haknya akan dikembalikan kepada Pemerintah Indonesia. Harapan kami
kalau bisa oleh Pemerintah, mesin-mesin pembangkitnya diserahkan ke PLN karena
yang akan mengoperasikan, walaupun nanti misalnya diperuntukan untuk pabrik
aluminium namun minimal biaya produksi kami otomatis turun karena dengan
menggunakan hidro, biayanya jauh lebih murah. Apalagi kalau misalkan pabrik
Aluminiumnya tidak dilanjutkan itu lumayan bisa membantu sistem sekitar 600 MW,
namun apabila masih dipergunakan untuk pabrik aluminium minimal biaya produksi kami
sangat menurun,” jelas Chris Leo. Chris Leo menambahkan, Sumatera Bagian Utara
ini untuk sumur-sumur gas cukup banyak kapasitasnya, misalnya seperti Wilayah
Riau dan Wilayah Aceh. Namun memang untuk batubara tidak terlalu banyak,
sedangkan untuk sungai-sungai sendiri sebagai pembangkit skala kecil cukup
banyak dan untuk mikro hidro di Wilayah Asahan III dapat memproduksi hingga sekitar
beberapa ratus MW.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar